6.6.12

SITUS BUMI ALIT LEBAK WANGI

Situs Rumah Adat Sunda atau Bumi Alit Kabuyutan Lebakwangi-Batukarut, terletak di Kampung Kabuyutan, Desa Lebakwangi, Kecamatan Arjasari. Areal situs terletak di sebuah lahan dengan luas 112 tumbak. Material bangunan yang tersedia terdiri dari pintu gerbang, bale panglawungan, dan sebuah bangunan utama berupa rumah panggung dengan tiga buah ruangan, terdiri dari pajuaran, pangcalikan dan dapur. Di dalam pajuaran tersimpan berbagai benda pusaka, berupa keris, gobang, kujang, badi, sekin, tumbak, sumbul dan perangkat gamelan kabuyutan yang disebut Gamelan Embah Bandong.
Diantara benda-benda pusaka tersebut tidak sembarang waktu diperlihatkan, kecuali pada bulan-bulan tertentu dalam sebuah ritual budaya.
Kehadiran bangunan tersebut bermula dari kedatangan seorang tokoh berasal dari Galuh bernama Embah Panggungjayadikusumah beserta 4 orang kepercayaannya, yaitu (1) Embah Lurah Sutadikusumah, bertugas untuk mengelola kesejahteraan rakyat, (2) Embah Wira Sutadikusumah, bertugas untuk menjaga kemanan dan ketertiban, (3) Embah Patrakusumah, bertugas mengelola bidang kesenian dan kebudayaan dengan dibantu istrinya bernama Nyiman Siti Rarangsa yang terkenal memiliki suara emas, dan (4) Embah Aji Kalangsumira, bertugas menjaga ketertiban hukum dan peraturan lainnya yang harus dijalankan oleh masyarakat sekitar.
Embah Panggungjayadikusumah adalah sosok pribadi yang menarik dan memiliki berbagai kemampuan. Masyarakat Lebakwangi menyebutnya sebagai seorang menak pinandita, weruh sadarung winarah, waspada permana tingal, ambek sadu santa budi. Dengan sifat seperti itu, beliau kemudian menjadi pemimpin di wilayah tersebut. Roda pemerintahan dijalankan secara adil bijaksana yang dalam peribahasa Sunda disebut landung kandungan laer aisan dan dibarengi dengan sikap kesederhanaan.
Dalam melaksanakan roda pemerintah sehari-hari, Embah Panggungjayadikusumah memusatkannya di tempat yang disebut kabuyutan. Di dalam kompleks lahan kabuyutan tersebut terdapat sebuah rumah panggung yang hampir seluruh bahan materialnya terbuat dari bahan-bahan bambu dan sedikit saja menggunakan kayu. Sedangkan bagian atasnya hanya ditutupi ijuk. Kegiatan demokrasi kekeluargaan dilaksanakan di sebuah bangunan yang disebut bale panglawungan, yaitu sebuah bale berbentuk panggung dengan ketinggian 1 meter. Sama halnya dengan rumah, bale panggung pun terbuat dari bahan material bambu beratap hateup dari ijuk.
Seluruh bangunan yang ada masih terpelihara dengan baik dan dikelola oleh para sesepuh Lebakwangi-Batukarut. Dan hingga sampai kini telah melewati sebelas generasi, dari sejak Nini Ariyem, Bapa Narwa, Pa Narwa, Buyut Keyet, Embah Mandor, Bah Oyo, Aki Madasim, Bah Sukarja, Bah Endan, dan pada generasi kesepuluh, pengelolaan dilanjutkan secara tetap oleh sebuah lembaga adat yang kemudian sejak tanggal 25 Nopember 1985 bernama Sasaka Waruga Pusaka.
Upaya pelestarian Kabuyutan Bumi Alit Lebakwangi-Batukarut terus dilakukan. Eksistensi pelestarian tidak hanya kepada lingkungan dan bahan material yang ada, juga terhadap nilai-nilai tradisi serta kegiatan ritual adat budaya lokal seperti upacara ngebakeun yang dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 12 Mulud (12 Rabi’ul Awal). Salah satu kegiatannya adalah membersihkan perangkat gamelan kabuyutan yang disebut Gamelan Embah Bandong.
Gamelan Embah Bandong sendiri ternyata memiliki riwayat yang sangat unik. Diawali dari kisah Embah Panggungjayadikusumah yang oleh para seuweu-siwinya disebut juga Embah Dalem Andayasakti saat memeriksa seluruh perkampungan yang berada di wilayah Lebakwangi atau Nagara Tanjungwangi.
Pada saat melalui sebuah lahan perkampungan, tiba-tiba keheranan muncul manakala melihat sebidang tanah hunyur (bukit kecil di tanah dataran). Didorong penglihatan mata bathinnya yang tajam, Embah Panggungjayadikusumah merasakan ada sesuatu di dalamnya. Maka, segeralah beliau memerintahkan para kapetengan dengan dibantu warga sekitar untuk menggali tanah hunyur tersebut.
Upaya penggalian tanah hunyur pun segera dilakukan dengan memakan waktu sampai berhari-hari sampai pada akhirnya ditemukan seperangkat barang yang telah terbungkus tanah cukup tebal. Karena rasa penasaran, perangkat barang itu pun dibersihkan hamper selama 2 bulan. Ternyata barang yang ditemukan itu berupa seperangkat gamelan, terdiri dari 2 buah goong, bonang, rincik, saron, kecrek, beri dan barang-barang lainnya.
Perangkat gamelan yang masih utuh itu, setelah dicoba oleh ahlinya ternyata masih dapat difungsikan. Sejak itulah gamelan tersebut dijadikan tetabuhan mandiri bagi Kabuyutan Lebakwangi dan dijadikan barang pusaka yang terus dipelihara hingga sampai kini. Sesuai dengan jumlah 2 goong  yang yang posisinya berdampingan atau bandong, kemudian perangkat gamelan pun diberi nama Gamelan Embah Bandong sesuai dengan julukan Embah Panggungjayadikusumah sebagai penabuh goong dalam berbagai kesempatan memimpin upacara ritual di Kabuyutan Lebakwangi.
Pengakuan pemerintah terhadap Gamelan Pusaka Embah Bandong dari Kabuyutan Lebakwangi, mewakili wilayah Kabupaten Bandung pada tanggal 24 sampai dengan 27 Oktober 1993 sempat pula diundang ke Jakarta dalam sebuah event Festival Musik Tradisional Tingkat Nasional.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More